oleh : Akhmad Sudrajat
Dalam konteks pendidikan, istilah fasilitator semula lebih banyak diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang dewasa (andragogi), khususnya dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun sejalan dengan perubahan makna pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas siswa, belakangan ini di Indonesia istilah fasilitator pun mulai diadopsi dalam lingkungan pendidikan formal di sekolah, yakni berkenaan dengan peran guru pada saat melaksanakan interaksi belajar mengajar.
Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa sebagai fasilitator, guru berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran.
Peran guru sebagai fasilitator membawa konsekuensi terhadap perubahan pola hubungan guru-siswa, yang semula lebih bersifat “top-down” ke hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat “top-down”, guru seringkali diposisikan sebagai “atasan” yang cenderung bersifat otoriter, sarat komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang, sebagaimana disinyalir oleh Y.B. Mangunwijaya (Sindhunata, 2001). Sementara, siswa lebih diposisikan sebagai “bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti instruksi dan segala sesuatu yang dikehendaki oleh guru.
Berbeda dengan pola hubungan “top-down”, hubungan kemitraan antara guru dengan siswa, guru bertindak sebagai pendamping belajar para siswanya dengan suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan. Oleh karena itu, agar guru dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator seyogyanya guru dapat memenuhi prinsip-prinsip belajar yang dikembangkan dalam pendidikan kemitraan, yaitu bahwa siswa akan belajar dengan baik apabila:
  1. Siswa secara penuh dapat mengambil bagian dalam setiap aktivitas pembelajaran
  2. Apa yang dipelajari bermanfaat dan praktis (usable).
  3. Siswa mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuan dan keterampilannya dalam waktu yang cukup.
  4. Pembelajaran dapat mempertimbangkan dan disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya dan daya pikir siswa.
  5. Terbina saling pengertian, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa
Sumber:
Sindhunata. 2001. Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman, Yogyakarta : Kanisius
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Proyek P2MPD. 2000. Fasilitator dalam Pendidikan Kemitraan (Materi IV-4-1). Jakarta.

Klasifikasi Tenaga Guru dan Tingkatan Praktik Pembelajaran

Telah disyaratkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa untuk dapat memangku jabatan guru, minimal memiliki kualifikasi pendidikan D4/S1. Namun dalam kenyataannya saat ini kualifikasi pendidikan guru di Indonesia memang masih beragam. Dalam hal ini, Conny Semiawan (Sudarwan Danim, 2002), memilah keberadaan tenaga guru di Indonesia ke dalam tiga jenis secara hierarkis, yaitu :

  1. Guru sebagai tenaga profesional, yang berkualifikasi pendidikan sekurang-kurangnya S1 (atau yang setara), memiliki wewenang penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengendalian pendidikan/ pembelajaran.
  2. Guru sebagai tenaga semi profesional, yang berkualifikasi pendidikan D3 (atau yang setara) yang telah berwenang mengajar secara mandiri tetapi masih harus melakukan konsultasi dengan tenaga kependidikan yang lebih tinggi jenjang profesionalnya, baik dalam hal perencanaan pelaksanaan, penilaian dan pengendalian pendidikan/ pembelajaran.
  3. Guru sebagai tenaga paraprofesional, yang berkualifikasi pendidikan tenaga kependidikan D2 ke bawah, yang memerlukan pembinaan dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengendalian/ pembelajaran.
Sementara itu, dalam praktik pembelajaran pun tampaknya masih terjadi keragaman. Dengan mengadopsi pemikiran Prayitno (2005) tentang lima tingkatan praktik dalam konseling, di bawah ini dijelaskan secara singkat tentang lima tingkatan praktik pembelajaran, sebagai berikut:
1. Tingkat pembelajaran pragmatik.
Tingkat pembelajaran pragmatik yaitu pembelajaran yang diselenggarakan guru dengan menggunakan cara-cara yang menurut pengalaman guru pada waktu terdahulu dianggap memberikan hasil yang optimal, meskipun cara-cara tersebut sama sekali tidak berdasarkan pada teori tertentu.
2.Tingkat pembelajaran dogmatik
Pada tingkat pembelajaran dogmatik, praktik pembelajaran yang dilakukan guru telah menggunakan pendekatan berdasarkan teori tertentu, namun pendekatan tersebut dijadikan dogma untuk segenap kepentingan proses pembelajaran siswa.
3. Tingkat pembelajaran sinkretik
Pada tingkat pembelajaran sinkretik, pembelajaran yang diselenggarakan guru telah menggunakan sejumlah pendekatan pembelajaran, namun penggunaan pendekatan tersebut bercampur aduk tanpa sistematika ataupun pertimbangan yang matang. Pendekatan-pendekatan tersebut sekedar dicomot dan diterapkan dalam kegiatan pembelajaran tanpa memperhatikan relevansi dan ketepatannya.
4. Tingkat pembelajaran eklektik
Dalam penyelenggaraan pembelajaran eklektik, guru telah memiliki pemahaman yang mendalam tentang berbagai pendekatan pembelajaran dengan berbagai teknologinya, dan berusaha memilih serta menerapkan sebagian atau satu kesatuan pendekatan beserta teknologinya sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan belajaran siswa. Pendeketan-pendekatan tersebut tidak dicampur aduk, namun dipilah-pilah, masing-masing diplih secara cermat untuk kepentingan pembelajaran siswa. Penyelenggaraan pembelajaran eklektif tidak mengangungkan atau menjadikan suatu pendekatan pembelajaran tertentu sebagai dogma. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pembelajaran eklektif, guru mengetahui kapan menggunakan atau tidak menggunakan pendekatan pembelajaran tertentu.
5. Tingkat pembelajaran mempribadi
Tingkat pembelajaran yang mempribadi mempunyai ciri-ciri : (1) penguasaan yang mendalam terhadap sejumlah pendekatan pembelajaran beserta teknologinya, (2) kemampuan memilih dan menerapkan secara tepat pendekatan berserta teknologinya untuk kepentingan pembelajaran siswa, dan (3) pemberian warna pribadi yang khas sehingga tercipta praktik pembelajaran yang benar-benar ilmiah, efektif, produktif, dan unik.
Refleksi untuk Anda:
  1. Tingkat pembelajaran manakah yang paling banyak dilakukan guru di Indonesia saat ini?
  2. Jika dihubungkan dengan sertifikasi guru, guru yang telah tersertifikasi berada pada tingkatan pembelajaran yang mana?
Sumber:
Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan;Dalam Upaya Meningkatkan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Prayitno. 2005. Konseling Pancawaskita. Padang : FIP Universitas Negeri Padang.